Walaupun demikian, jalan menuju Allah itu banyak. Para ahli ma’rifat berkata, ”Jalan-jalan menuju ma’rifatullah sebanyak nafas makhluk.” Salah satu jalan ma’rifatullah adalah akal. Terdapat sekelompok kaum muslim, golongan ahli Hadis (Salafi) atau Wahabi, yang menolak peran aktif akal sehubungan dengan ketuhanan. Mereka berpendapat, bahwa satu-satunya jalan untuk mengetahui Allah adalah nash (Al-Qur’an dan Hadis). Mereka beralasan dengan adanya sejumlah ayat dan riwayat yang secara lahiriah melarang menggunakan akal (ra’yu). Padahal kalau kita perhatikan, ternyata Al-Qur’an dan Hadis sendiri mengajak kita untuk menggunakan akal, bahkan menggunakan keduanya ketika menjelaskan keberadaan Allah lewat argumentasi (burhan) aqli. Pada tulisan berikutnya, insya Allah akan kita bicarakan tentang Al-Qur’an, Hadis dan konsep ketuhanan. Bisakah Tuhan dibuktikan dengan akal ? Sebenarnya pertanyaan ini tidaklah tepat, karena bukan saja Allah bisa dibuktikan dengan akal. Bahkan, pada beberapa kondisi dan situasi hal itu harus dibuktikan dengan akal dan tidak mungkin melakukan pembuktian tanpa akal. Anggapan yang mengatakan, bahwa pembuktian wujud Allah hanya dengan nash saja adalah anggapan sangat naif. Karena bagaimana mungkin seseorang menerima keterangan Al-Qur’an, sementara dia belum mempercayai wujud (keberadaan) sumber Al-Qur’an itu sendiri Al-Qur’an, yaitu Allah Ta’ala. Lebih naif lagi, mereka menerima keterangan Al-Qur’an lantaran ia adalah kalamullah atau sesuatu yang datang dari Allah. Hal ini berarti, mereka telah meyakini wujud Allah sebelum menerima keterangan Al-Qur’an. Lalu mengapa mereka meyakini wujud Allah ? Mereka menjawab, “Karena Al-Qur’an mengatakan demikian.” Maka terjadilah daur (Lingkaran setan ?, lihat istilah daur pada pembahasan selanjutnya). Dalam hal ini, Al-Qur’an dijadikan sebagai pendukung dan penguat dalil aqli. Para ulama, ketika membuktikan wujud Allah dengan menggunakan burhan aqli, terkadang melalui pendekatan kalami (teologis) atau pendekatan filosofi. Pada kesempatan ini, insya Allah kami mencoba menjelaskan keduanya secara sederhana dan ringkas. 1. Burhan Nidham (keteraturan) Burhan ini dibangun atas beberapa muqadimah (premis). Pertama, bahwa alam raya ini penuh dengan berbagai jenis benda, baik yang hidup maupun yang mati. Kedua, bahwa alam bendawi (tabiat) tunduk kepada satu peraturan. Artinya, setiap benda yang ada di alam ini tidak terlepas dari pengaruh undang-undang dan hukum alam. Ketiga, hukum yang menguasai alam ini adalah hukum kausalitas (illiyyah), artinya setiap fenomena yang terjadi di alam ini pasti dikarenakan sebuah sebab (illat) dan tidak mungkin satu fenomena terjadi tanpa sebab. Dengan demikian, seluruh alam raya ini dan segala yang ada di dalamnya, termasuk hukum alam dan sebab akibat, adalah fenomena dari sebuah puncak sebab (prima kausa atau illatul ilal). Keempat, “sebab” atau illat yang mengadakan seluruh alam raya ini tidak keluar dari dua kemungkinan, yaitu “sebab” yang berupa benda mati atau sesuatu yang hidup. Kemungkinan pertama tidak mungkin, karena beberapa alasan berikut : Pertama, alam raya ini sangat besar, indah dan penuh keunikan. Hal ini menunjukkan bahwa “sebab” yang mengadakannya adalah sesuatu yang hebat, pandai dan mampu. Kehebatan, kepandaian dan kemampuan, merupakan ciri dan sifat dari sesuatu yang hidup. Benda mati tidak mungkin disifati hebat, pandai dan mampu. Kedua, benda-benda yang ada di alam ini beragam dan bermacam-macam, diantaranya adalah manusia. Manusia merupakan salah satu bagian dari alam yang paling menonjol. Dia pandai, mampu dan hidup. Mungkinkah menusia yang pandai, mampu dan hidup terwujud dari sesuatu yang mati ?. Kesimpulannya, bahwa alam raya ini mempunyai ‘’sebab’’ atau ‘illat, dan ‘’sebab’’ tersebut adalah sesuatu yang hidup. Kaum muslimin menamai ‘’sebab’’ segala sesuatu itu dengan sebutan Allah Ta’ala. 2. Burhan al-Huduts (kebaruan) al-Huduts atau al-Hadits berarti baru, atau sesuatu yang pernah tidak ada kemudian ada. Burhan ini terdiri atas beberapa hal : Pertama, bahwa alam raya ini hadits, artinya mengalami perubahan dari tidak ada menjadi ada dan akhirnya tidak ada lagi. Kedua, segala sesuatu yang asalnya tidak ada kemudian ada, tidak mungkin ada dengan sendirinya. Pasti dia menjadi ada karena ‘’sebab’’ sesuatu. Ketiga, yang menjadikan alam raya ini ada haruslah sesuatu yang qadim, yakni keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Keberadaannya kekal dan abadi. Karena, jika sesuatu yang mengadakan alam raya ini hadits juga, maka Dia-pun ada karena ada yang mengadakannya, demikian seterusnya (tasalsul). Tasalsul yang tidak berujung seperti ini mustahil. Dengan demikian, pasti ada ‘sesuatu’ yang keberadaannya tidak pernah mengalami ketiadaan. Kaum muslimin menamakan ‘sesuatu’ itu dengan sebutan Allah Ta’ala. Burhan-burhan Aqli-filosofi tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala. A. Burhan Imkan Burhan Imkan dapat dijelaskan dengan beberapa poin sebagai berikut ini: Pertama, bahwa seluruh yang ada tidak lepas dari dua posisi wujud, yaitu wajib atau mumkin. Kedua, wujud yang wajib ada dengan sendirinya dan wujud yang mumkin pasti membutuhkan atau berakhir kepada wujud yang wajib, secara langsung atau lewat perantara. Kalau tidak membutuhkan kepada yang wajib, maka akan terjadi daur (siklus) atau tasalsul (rentetan mata rantai yang tidak berujung) dan keduanya mustahil. Ketiga, bahwa yang mumkin berakhir kepada yang wajib. Dengan demikian, yang wajib adalah ‘sebab’ dari segala wujud yang mumkin (prima kausa atau ‘illatul ‘ilal). Kaum muslimin menamakan wujud yang wajib dengan sebutan Allah Ta’ala.
Meskipun meyakini adanya Tuhan adalah masalah fithri yang tertanam dalam diri setiap manusia, namun karena kecintaan mereka kepada dunia yang berlebihan sehingga mereka disibukkan dengannya, mengakibatkan mereka lupa kepada Sang Pencipta dan kepada jati diri mereka sendiri. Yang pada gilirannya, cahaya fitrah mereka redup atau bahkan padam...Burhan-burhan Aqli-kalami tentang keniscayaan wujud Allah Ta’ala
B. Burhan Ash-Shiddiqin
Burhan ini menurut para filosuf muslim, merupakan terjemahan dari ungkapan Imam Ali yang berbunyi, “Wahai Dzat yang menunjukkan diri-Nya dengan diri-Nya.” (Doa Shahabah Amir al-Mukminin Ali bin Abi Thalib as.) Artinya, Burhan ini ingin menjelaskan pembuktian wujud Allah melalui wujud diri-Nya sendiri.
Allamah al-Hilli, dalam komentarnya terhadap kitab Tajrid al-‘Itiqad karya Syekh Thusi, menjelaskan, “Di luar kita secara pasti ada yang wujud. Jika yang wujud itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala), dan jika yang wujud itu mumkin, maka dia pasti membutuhkan faktor yang wujud (untuk keberadaannya). Jika faktor itu wajib, maka itulah yang dimaksud (Allah Ta’ala). Tetapi jika faktor itu mumkin juga, maka dia membutuhkan faktor lain dan seterusnya (tasalsul) atau daur. Dan keduanya mustahil adanya
26 Maret 2008
Akal dan Konsep Ketuhanan
Label:
Training Revolusi Kesadaran
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
feel free to comment...