26 Maret 2008

REVOLUSI KESADARAN

Marx, pemikir komunis itu pernah menulis sesuatu dalam sejarah, satu ungkapan yang menjadi motto perjuangan kaum tertindas untuk meraih hak-hak material mereka. Kaum penindas hanyalah memperkaya hidup mereka, dan buruh hanyalah korban penindasan kerakusan kapitalisme. Oleh karena itu kaum tertindas harus memperjuangkan hak-hak mereka dalam sebuah revolusi besar, dan itu hanya bisa dicapai dengan pertentangan antar kelas, antara buruh dan kapitalis penindas, oleh karenanya ia menulis; “kaum buruh dunia bersatulah”.

Marx sebagaimana pemikir dari barat lainnya, lahir dari sebuah ketidakjujuran sejarah, ketika pengusaha menghisap tenaga buruh. Ketika pengusaha menindas rakyat. Dan ketika agama menjadi dogma pembenar kedzaliman. “Agama adalah candu”, katanya. Ia juga melanjutkan bahwa agama tidak memiliki jiwa revolusioner, agama hanyalah statis, agama hanya membuat orang terbuai dalam kebodohan. Maka jiwa sebenarnya dalam sebuah masyarakat adalah pertentangan itu sendiri, dan masyarakat adil makmur akan dicapai dari sebuah pertentangan besar bernama revolusi ledakan.

Sampai sekarang teori sosialnya masih mendapat tempat dalam wacana pergerakan apapun bentuknya, bahwa pandangan hidup lahir dari teori-teori peperangan dan pertentangan. Kesadaran hanyalah lahir dari pertentangan kelas, maka ia membuat satu tesis tentang pergerakan, yang banyak dikutip oleh pemikir-pemikir barat lainnya dan pemikir Islam yang Marxist. Sebuah tesis yang ditulis Marx tentang gerak dan pergerakan adalah bahwa gerak terjadi karena dialektika kontradiksi, bahwa hidup pada hakikatnya adalah perjuangan kepentingan antar kelas. Seperti yang ia contohkan tentang kelas menengah penindas dan tertindas, orang merdeka dan budak, majikan dan pelayan, penjajah dan terjajah.

Demikianlah, suatu ketika ia menulis dalam buku besar yang menjadi acuan kerja gerakan komunis dunia, Das Kapital. Perjuangan sesungguhnya ia melanjutkan, adalah kondisi di mana berhadapannya kepentingan untuk memenuhi hasrat-hasrat material duniawi. Maka hanya satu kondisi di mana kita dapat memenangkan perjuangan hasrat material itu, yaitu kelas-kelas harus ditiadakan dengan cara mempertentangkannya. Seorang budak harus melawan majikannya, si terjajah melawan penjajah, dan buruh melawan pemilik modal. Sekali lagi ia berkata lantang; hasrat pembebasan hanyalah dapat dicapai dengan pertentangan dalam sebuah revolusi ledakan, dan kaum tertindaslah yang harus memimpin revolusi ledakan itu.

Tapi teori ini begitu absurd dan semu. Sebab kadang ketika urusan material tersebut terpenuhi, ketika kaum buruh mendapatkan hak usaha dan tenaga yang dia berikan kepada sebuah usaha, maka berhentilah keinginan berevolusi tadi. Mungkin Marx kaget ketika sekarang, buruh mendapatkan penguasaan modal terbesar dalam sebuah koperasi. Jika demikian halnya, jenis revolusi apalagi yang oleh seorang buruh harus perjuangkan ketika hak-hak mereka telah terpenuhi tanpa melalui sebuah revolusi?

Jika marx mengatakan bahwa kaum buruh dan orang tertindaslah yang berhak memimpin evolusi meraih nilai-nilai material tadi, ia harus mampu menerangkan mengapa seorang Musa yang dibesarkan dalam dunia bangsawan-lah yang memimpin revolusi pembebasan orang Yahudi. Atau bagaimana ia menerangkan ketika Muhammad yang lahir dari bangsa terhormat Quraisy, klan Bani Hasyim, satu kaum yang turun temurun memiliki kehormatan untuk menjaga Ka’bah, hadir memperjuangkan hak Mustadh’afin. Atau bagaimanakah Marx dan pengikutnya menerangkan, mengapa seorang Gandhi dan Khomeini, ketika mati hanya meninggalkan selembar pakaian, pondok kecil, dan sebuah puisi. Sepertinya materi dan materialitas hanyalah sesuatu yang menyesakkan dada dan mengganggu revolusi besar mereka.

Lalu jenis revolusi apakah yang memotivasi orang-orang besar itu untuk memperjuangkan sebuah nilai dalam peradaban manusia? Apakah ia dilandasi keinginan material dan kekuasaan sebagaimana Nietzsche pernah dengungkan? Ataukah satu keinginan yang lebih besar dari material, yaitu ketika mereka memiliki kewajiban menyampaikan kebenaran sesungguhnya dalam sebuah revolusi? Bukan revolusi ledakan keinginan materi yang saling mempertentangkan, melainkan sebuah revolusi kesadaran. Kesadaran, bahwa kita suatu ketika akan kembali kepadaNya.

Oleh : Andi Hakim