26 Maret 2008

Ringkasan dari Ringkasan Materi Rekonstruksi NDP

Bismihi ta'ala
Andito

Manusia[1] adalah material[2], yang realis[3], bukan idealis [4]. Manusia mempunyai sifat asali: bergerak[5] atau diam[6], dari potensial menuju aktual, berarti selalu menyempurna menuju kesempurnaan mutlak (realitas eksternal objektif mutlak), yang absolut, universal, manusiawi, objektif, tidak terbatas dan berbeda secara eksistensial dengan manusia/makhluk...

Realis bisa materialis[7] dan teologis[8]. Banyak orang menyangka bahwa seorang realis adalah materialis. Padahal, materialis adalah bagian dari realis. Seorang materialis menumpukan pengetahuannya pada eksperimentasi, sedangkan teologis pada prinsip-prinsip niscaya rasional.

Pengetahuan[9] manusia berasal konsepsi tervalidasi. Namun ada yang meragukan seluruh hasil pengetahuannya dengan alasan keterbatasan indera dan akal manusia (relativis). Mereka memustahilkan manusia bisa mencapai kebenaran mutlak sebagaimana kebenaran itu sendiri. Sebagian pendukung ini menjadikan tuhan sebagai kambing hitam, hanya dialah yang mengetahui sedangkan selainnya tidak tahu apa-apa. Tidak ada pengetahuan apa pun kecuali hanya bermain pada wilayah tafsir, dan itu harus dikembalikan kepada wahyu tuhan yang tekstual.

Sebaliknya ada yang meyakini bahwa pengetahuan manusia sangat mungkin mencapai kebenaran sebagai kebenaran itu sendiri (absolutis). Prinsip-prinsip niscaya rasional yang dimiliki manusia bisa membuktikan tentang suatu realitas secara objektif.

Apa pun istilahnya[10], realitas tertinggi adalah nyata dan objektif. Manusia yang mahatidaksempurna mesti mengarahkan dirinya pada realitas yang mahasempurna, lepas dari apakah secara psikologis dia menyangkal/mengimani keberadaan tuhan. Maka seluruh sistem yang menaungi manusia dan kosmos lain berada dalam kehendak realitas mahasempurna (sunnatullah, hukum alam).

Manusia adalah makhluk berkehendak bebas karena mempunyai akal (sesuatu yang immaterial dalam diri manusia sebagai pembeda benar-salah sesuatu). Keterbatasannya adalah ketidakmampuannya. Selama ikhtiar senantiasa dalam hukum ilahi, maka seluruh ikhtiarnya akan mengada.

Mitos keterbatasan manusia antara takdir dan ikhtiar sebenarnya terjebak pada historisitas, bukan pada rasionalitas. Konsepsi tentang takdir (realitas niscaya dalam sistem ilahi) berpulang pada konsepsi diri: egosentris atau teosentris. Keduanya benar dan hanya beda perspektif.

Awal konsepsi teosentris ini, tuhan sebagai agen tunggal, sebenarnya dimaksudkan agar manusia senantiasa terarah bahwa segala sesuatu mustahil terjadi tanpa kehendak tuhan (determinisme). Namun konsep ini akhirnya dijadikan penguasa sebagai dalih untuk melanggengkan kekuasaannya (ini adalah takdir tuhan) dan menindas lawan politiknya (mereka mau mengubah takdir tuhan). Neraka dan surga tiada makna karena tidak berhubungan sama sekali dengan perbuatan manusia.

Kemudian muncul konsep kritisnya bahwa manusialah yang menentukan nasibnya sendiri (free-will). Dimaksudkan agar tuhan bersih dari klaim bahwa dia juga turut berperan dalam perbuatan dosa manusia. Semua perbuatan dan akibatnya adalah karya manusia sendiri sebagai agen tunggal. Surga dan neraka adalah imbalan yang layak diterima sebagai konsekuensi perbuatan. Konsep ini dikritik karena membuat tuhan tidak berkuasa (istirahat) pada saat terjadinya suatu perbuatan.

Konsep jalan ketiga adalah bahwa manusia, dengan segala potensi dan karunia yang dimilikinya, tetap mempunyai peran sentral semua tindakannya, selama itu berada dalam lingkup sistem alam yang berlaku universal. Tuhan hanya memberi jalan dan rambu-rambunya, manusia yang memilih. Manusia tidak dikenakan ganjaran atas semua efek yang dia terima karena perbuatan orang lain. Takdir = ikhtiar + sunnatullah.

Kualitas manusia ditentukan pada tingkat kesadaran tindakan. Manusia paling sempurna adalah dia yang mempunyai pengetahuan utuh tentang realitas tertinggi, bukan pada ketrampilan (skill). Insan kamil ini tidak mesti tahu teknis bertanam jagung, tapi dia tahu inti hakikat perbuatan manusia. Dia mustahil berbuat dosa dan lupa. Sebab dosa adalah terkalahkannya pengetahuan rasional oleh hawa nafsu, sedangkan lupa adalah lalai/masa bodoh akan pengetahuan yang telah diperolehnya.

Insan kamil adalah khalifah tuhan par excellence sebab semua nama tuhan termanifestasi dalam dirinya. Sebagai makhluk sosial, dia akan mewartakan jalan pasti menuju tuhan dan menerapkan keadilan di masyarakat[11]. Keadilan sosial terjadi ketika sistem yang berlangsung adalah interaksi sesama makhluk tuhan dengan amanah masing-masing sehingga tidak ada kelas yang dominan, melainkan sebatas ‘pengurus’. Keadilan ekonomi terjadi ketika seluruh sistem kepemilikan pribadi dan diostribusi kekayaan diarahkan pada kemaslahatan dan kesejahteraan kolektif.

Watak yang dihimpun dalam masyarakat tauhid adalah kesadaran tentang realitas yang bebas dari pencitraan budaya pop. Tindakan kritis yang berjalan adalah membangun peradaban dalam semangat kemanusiaan adiluhung, yang meletakkan hawa nafsu dalam skala wajar dan mendudukkan rasionalitas dalam tingkatan yang semestinya. Perlawanan terhadap setiap sistem yang zalim adalah keniscayaan eksistensial manusia karena jiwa manusia menghendaki kebebasan.

diberikan pada Latihan Kader II Tingkat Nasional HMI Cabang Bandung, Ahad 1 Maret 2003. Artikel ini merupakan ringkasan Rekonstruksi NDP, 1 bagian dari 2 artikel lain: ‘Nasib Ideologi dan Lembaga Kita’ (kritik sistem lembaga) dan ‘Mengapa Rekonstruksi Ideologi HMI?’ (kritik ideologi). Semua materi rekonstruksi telah diujicoba dalam 3 jenjang training Revolusi Kesadaran (ideologis, filosofis, sosiologis) sebagai penguatan pemateri LK-1 NDP dan Filsafat di tingkat cabang. Tujuan internal: independensi cabang dan penguatan basis. Tujuan eksternal: ekspor ideologi, menjadikan cabang sebagai pintu masuk setiap training ideologi. Pada praktiknya, materi ini telah diwartakan pada ormawa dan elemen gerakan lain dengan sedikit penyesuaian teknis tanpa menghilangkan nilai-nilai yang ‘khas HMI’.

Andito, adalah instruktur ideologi hmi dan aktivis maula (masyarakat universal lintas agama). Alamat: aandito@yahoo.com 021-9194142, 0812-9642333, 0815-8930870



[1]. realitas eksternal objektif nisbi

[2]. 3 dimensi, beruang-waktu, terbatas terbagi, berunsur, berubah

.[3] mempercayai keberadaan objek luar/realitas

.[4] tidak percaya keberadaan sesuatu yang objektif di luar dirinya sendiri

.[6] berbedanya posisi kedua dari pertamanya, yang meniscayakan ‘ruang’ dalam sosok seorang manusia

.[6] samanya posisi kedua dari pertama, yang meniscayakan ‘waktu’ dalam sosok seorang manusia

.[7] tidak meyakini adanya realitas selain materi

.[8] meyakini adanya sesuatu yang immateri/ruhani

.[9] tersingkapnya sesuatu tanpa keraguan

.[10] setiap lembaga keyakinan mempunyai penyebutan tersendiri tentang realitas tertinggi, seperti tuhan, allah, hyang widhi, yahweh, adit. Kesamaan nama dan abstarksi tujuannya tidak memestikan kesamaan objek realitas tersebut, selama belum diujikan dengan kaidah-kaidah filosofis.

[11] Senyawa jiwa-pikiran-hasrat, bersifat kebudayaan, yang melahirkan identitas baru, jiwa kemasyarakatan. Unsur-unsur individu dan masyarakat saling mempengaruhi dan diubah oleh pengaruh timbalik balik.