10 April 2008

Antara Rumah Sakit, Pasien Miskin dan Calon Dokter

Menteri Kesehatan (Menkes) Siti Fadilah Supari menginstruksikan rumah sakit seluruh Indonesia wajib menerima pasien miskin denganpelayanan yang baik. Hal ini disampaikan dalam acara pameran alat medis si Surabaya HospitalExpo 2008, di Hotel JW Marriott Surabaya.

Pernyataan Menkes tersebut mengindikasikan adanya perlakuan yang berbeda selama ini terhadap pasien miskin. Perlakuan tidak menyenangkan (alias menyebalkan) memang sering diterima oleh pasien miskin. Dari mulai menunggu terlalu lama, diping-pong, sampai ditolak rumah sakit.

Beberapa hari lalu saya mendapat gambaran mengenai mengapa hal tersebut dapat terjadi. Salah seorang pejabat rumah sakit ,yang juga masih alumni HMI, menyatakan bahwa selamaii kuantitas dokter mempengaruhi pelayanan rumah sakit. Minimnya kuantitas dokter selama ini masih menjadi kendala.

Saya lalu bertanya, ’bukannya dokter itu banyak Bang?’. Diapun menjelaskan, memang banyak karena kita ada di bandung. Di kota besar dokter memang tersedia dan relatif lebih banyak. Namun untuk kota yang dianggap banyakdokternya saja itu masih tidak mencukupi. Di Bandung misalnya, kita masih bisa melihat bahwa nama dokter jaga yag sama dibeberapa rumah sakit. Langkanya dokter tersebut membuat dokter memiliki bargaining position untuk memilih pekerjaannya. Termasuk harus dipenuhinya keinginan untuk mendapat tunjangan ini-itu.

Nah, dapat kita bayangkan sekarang ketika menjadi dokter itu berarti harus menempuh pendidikan yang sangat mahal, dan bertambah mahal. Uang masuk universitas saja kita sudah biasa kita dengar angka-angka fantastis,140 juta, itupun minimal. BHPMN (atau BHMN, apapun namanya) telah membuat biaya kuliah makin mahal. Kita bisa memprediksi kelangkaan makhluk yang satu ini kedepannya.

Hal tersebut akan membuat kebijakan rumah sakit yang walaupun memiliki standard ideal menjadi terbatasi kewenangannya. Jadi, seperti membeli rokok di kapal laut yang hanya ada satu-satunya penjual atau naik angkot ditengah malam yang harganya otomatis naik. Maka pelayanan layak terhadap pasien miskin (masih akan) menjadi mimpi disiang bolong.

Seperti inilah nasib warga miskin di negeri penuh lips service, makan janji, makan ati...